“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya (sakinah), dan dijadikan-Nya diantaramu
mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “ (Ar-Ruum [30]: ayat 21)
Dalam
hal keluarga seringkali terdengar sebutan keluarga sakinah, mawaddah,
wa rahmah. Sakinah artinya tentram, yaitu adanya kepercayaan dalam
berumah tangga, dan saling memahami sifat pasangan masing-masing.
Keluarga sakinah menunjukan keluarga yang tenang dan damai. Mawaddah
artinya cinta, yang merupakan tahapan berikutnya yang dirasakan pada
pasangan. Cinta yang didasarkan atas rasa cinta kepada Allah SWT.
Keluarga mawaddah menunjukan keluarga yang saling mencitai dan
menyayangi. Rahmah artinya rahmat, merupakan akhir dari segala perasaan.
Dalam tahap ini yaitu menjalankan pernikahan dengan benar-benar
sehingga memproleh ridha Allah SWT. Dalam garis besar tujuan keluarga
yaitu menjadi tempat yang tenang dan harmonis sebagai tempat lahirnya
keturunan yang baik yang kemudian menjadi bagian masyarakat yang
membangun. Sementara fungsi dari keluarga selain untuk mengikat cinta
satu sama lain juga sebagai pembentuk generasi penerus keluarga.
Menurut Prof Dr Hamka, rahmah lebih tinggi kedudukannya daripada
mawaddah sebab ia kasih mesra di antara suami isteri yang
bukan lagi berasaskan keinginan syahwat, sebaliknya rasa
kasih sayang murni yang tumbuh dari jiwa yang paling
dalam sehingga suami isteri merasakan kebahagiaan yang
tidak bertepi dan ketenangan yang tidak berbatas. Yang
mereka inginkan adalah mengisi hari-hari akhir dengan beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya secara
bersama-sama. Mereka juga berusaha memberikan contoh yang
baik, teladan dan nasihat kepada anak cucu supaya mereka tidak salah
dalam memilih jalan hidup di dunia yang penuh dugaan ini.
Inilah hakikat rahmah itu.
Allah akan menurunkan rahmah di dalam satu keluarga apabila keluarga
berkenaan dibina atas niat mencari keredaan Allah. Oleh
sebab itu, di dalam proses membina satu rumah tangga,
Rasulullah memberikan bimbingan kepada umat Islam agar
memilih pasangan karena empat prinsip, yaitu kecantikan,
keturunan, kekayaan dan agamanya. Akan tetapi
Rasulullah memberatkan agar agama menjadi keutamaan. Ada kalanya
orang memilih pasangan karena kecantikan dan kekayaan sehingga
mereka lupa bahwa kecantikan dan harta bersifat
sementara. Begitu juga dengan keturunan dan nasab tidak
selamanya menjamin kebahagiaan.
Pada sikon kekinian, banyak hal terjadi
dalam masyarakat, yang secara langsung dan tidak, mempengaruhi setiap anggota
keluarga. Ketidaksiapan dan ketidaksanggupan menanggapi serta mengatasi setiap
permasalahan tersebut, berdampak pada hancurnya keluarga, termasuk putusnya
ikatan perkawinan atau perceraian.
Dinamika dalam
perkawinan dan keluarga, memunculkan hal-hal membangun, sejahtera, kebahagiaan,
dan juga keributan, dan berbagai ancaman terhadap keutuhan
keluarga. Ada banyak faktor yang menyumbangkan terputusnya
suatu perkawinan, hal tersebut antara lain;
- Kehilangan
cinta kasih. Pada umumnnya laki-laki dan perempuan memasuki hidup dan kehidupan
sebagai suami-isteri dengan alasan cinta. Namun, cinta tersebut
hanya sekedar kata cinta dan tanpa makna mendalam serta ikatan yang
kuat. Cinta seperti itu tidak berisi kasih-sayang sejati atau agape. Jika
seperti itu, maka suami-isteri mudah kehilangan cinta yang berdampak pada
retaknya hubungan mereka, kemudian berujung pada perceraian. Kasih sejati mampu
menutup segala bentuk kekurangan dan sebagai pengikat yang mempersatukan
suami-isteri sampai maut memisahkan mereka.
- Ketidakmampuan menyesuaikan diri. Setiap laki-laki dan perempuan, sebelum mereka menjadi suami-isteri, mempunyai berbagai latar belakang; misalnya, budaya, agama, pendidikan, tingkat dan status sosial, ekonomi, gaya hidup, agama. Ketika masih pacaran dan bertunangan, mereka belajar untuk mencapai kesepadanan dan kesusaian antar keduanya. Akan tetapi, ketika proses tersebut belum mencapai tingkat maksimal atau memadai, mereka sudah menikah dan menjadi suami-isteri. Pada sikon seperti itu, ditambah dengan perkembangan dan pengaruh dari luar keluarga, suami atau isteri terjebak dalam dunianya[sesuai latar belakangnya] sambil tidak mau menyesuaikan diri dengan sikon pasangannya. Jika hal itu, terus menerus terjadi maka semakin lama memunculkan pemisahan dalam berbagai hal yang berujung pada perceraian.
- Hidup yang monoton. Suami-isteri yang telah lama menjalani hidup dan kehidupan keluarga, kadang-kadang terjerumus ke dalam sesuatu [kondisi hidup dan kehidupan] yang monoton dan membosankan. Akibat, suami-isteri inginkan sesuatu yang bernuansa baru; namun kadang-kadang justru meninggalkan suami atau isterinya. Kesepian hidup dan kehidupan. Biasanya, pada suami-isteri yang anak-anaknya sudah dewasa dan telah membangun keluarga sendiri, memasuki hari-hari kesendirian dan kesepian. Dengan itu, memudahkan munculnya kebosanan.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari dzikir kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (Al-Munafiquun [63]: ayat 9)
Perlu digaris bawahi bahwa sakinah mawaddah warahmah tidak datang begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan, dan yang lebih utama, adalah menyiapkan kalbu.
Sakinah, mawaddah dan rahmah bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar
ke luar dalam bentuk aktifitas sehari-hari, baik didalam keluarga
maupun dalam masyarakat.
Bagaimana mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah itu?
Untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah perlu melalui proses yang panjang dan pengorbanan yang besar, di antaranya:
- Niatkan saat menikah untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk menghidari hubungan yang dilarang Allah SWT
- Suami berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dengan dorongan iman, cinta, dan ibadah. Seperti memberi nafkah, memberi keamanan, memberikan didikan islami pada anak istrinya, memberikan sandang pangan, papan yang halal, menjadi pemimpin keluarga yang mampu mengajak anggota keluaganya menuju ridha Allah dan surga -Nya serta dapat menyelamatkan anggota keluarganya dari siksa api neraka.
- Istri berusaha menjalankan kewajibannya sebagai istri dengan dorongan ibadah dan berharap ridha Allah semata. Seperti melayani suami, mendidik putra-putrinya tentang agama islam dan ilmu pengetahuan, mendidik mereka dengan akhlak yang mulia, menjaga kehormatan keluarga, memelihara harta suaminya, dan membahagiakan suaminya.
- Suami istri saling mengenali kekurangan dan kelebihan pasangannya, saling menghargai, merasa saling membutuhkan dan melengkapi, menghormati, mencintai, saling mempercai kesetiaan masing-masing, saling keterbukaan dengan merajut komunikasi yang intens.
- Berkomitmen menempuh perjalanan rumah tangga untuk selalu bersama dalam mengarungi badai dan gelombang kehidupan.
- Suami mengajak anak dan istrinya untuk shalat berjamaah atau ibadah bersama-sama, seperti suami mengajak anak istrinya bersedekah pada fakir miskin, dengan tujuan suami mendidik anaknya agar gemar bersedekah, mendidik istrinya agar lebih banyak bersyukur kepada Allah SWT, berzikir bersama-sama, mengajak anak istri membaca al-qur’an, berziarah qubur, menuntut ilmu bersama, bertamasya untuk melihat keagungan ciptaan Allah SWT. Dan lain-lain.
- Suami istri selalu memohon kepada Allah agar diberikan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rohmah.
- Suami secara berkala mengajak istri dan anaknya melakukan instropeksi diri untuk melakukan perbaikan dimasa yang akan datang.
- Saat menghadapi musibah dan kesusahan, selalu mengadakan musyawarah keluarga. Dan ketika terjadi perselisihan, maka anggota keluarga cepat-cepat memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan nafsu amarahnya.
Akhirnya penulis serahkan segalanya padamu wahai sahabatku.....Semoga kita diberikan kekuatan, kemampuan dan kesabaran dalam menghadapi semuanya. Amin.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar